Share :
clip icon

Deezer Ungkap 28 Persen Musik Baru Adalah Ciptaan Lengkap Kecerdasan Buatan: Kuartal Besar Industri Rekaman Hadapi Gelombang Otomatisasi

AI Morfo
foto : Morfogenesis Teknologi Indonesia AI Creative Team

Platform streaming asal Prancis, Deezer, secara mengejutkan mengungkapkan bahwa 28 persen dari seluruh trek yang diunggah sepanjang tahun ini merupakan karya musik yang sepenuhnya dihasilkan oleh kecerdasan buatan, temuan yang diperoleh berkat implementasi teknologi deteksi AI generatif yang mulai dikerahkan pada awal Januari lalu. Angka tersebut, yang setara dengan hampir sepertiga dari total katalog baru, langsung mengguncang berbagai pihak di industri hiburan global karena dianggap sebagai bukti nyata bahwa mesin kini bukan hanya berperan sebagai alat bantu, melainkan kompetitor kreatif bagi manusia. Dalam konferensi pers virtual yang diselenggarakan pekan lalu, Chief Technology Officer Deezer, Matthieu Gorvan, menyampaikan bahwa data yang dihimpun selama tiga kuartal terakhir menunjukkan tren peningkatan yang sangat tajam, yakni dari 9 persen pada kuartal pertama menjadi 28 persen di kuartal ketiga, menandakan adopsi AI yang sangat agresif oleh para kreator. Ia menegaskan bahwa laju pertumbuhan ini jauh melampaui proyeksi internal perusahaan yang awalnya memperkirakan puncaknya hanya 15 persen hingga akhir tahun, sehingga manajemen kini meninjau ulang kebijakan kurasi maupun monetisasi demi menjaga keseimbangan ekosistem. Sementara itu, jajaran eksekutif label rekaman besar mulai menggelar pertemuan darurat guna merumuskan respons strategis terhadap banjir konten algoritmik, termasuk menimbangkan skema pelabelan wajib, pembagian pendapatan yang berbeda, hingga filter preferensi bagi pengguna yang menginginkan karya manusia murni. Para analis pasar memperkirakan gebrakan Deezer akan menjadi katalis bagi platform saingan seperti Spotify, Apple Music, maupun YouTube Music untuk segera melakukan transparansi data serupa, sekaligus mendorong lahirnya regulasi industri yang lebih tegas terkait kredibilitasi karya seni di era pascahumanis.

Deteksi 28 persen musik AI di Deezer memunculkan pertanyaan mendasar mengenai kualitas, etika, dan masa depan industri rekaman, sebab meskipun volume konten berkembang pesat, sebagian besar lagu-lagu buatan mesin dinilai masih mentah secara komposisi, minim dinamika emosional, serta kerap meniru pola-pola hit populer sehingga berpotensi menimbulkan kejenuhan pasar. Studi internal yang dilakukan oleh tim data science Deezer pada 1,2 miliar streaming menemukan bahwa tingkat putar-ulang lagu AI lebih rendah 37 persen dibandingkan lagu manusia, meskipun awalnya menunjukkan lonjakan tembusan algoritma rekomendasi. Temuan ini memicu perdebpan di kalangan musisi, di mana sebagian menyambut baik teknologi sebagai kolaborator baru yang mempercepat proses demo, namun mayoritas komposer, terutama yang bernaung di genre jazz, klasik, dan alternatif, merasa terancam eksistensinya karena label kini mulai menawarkan pakai-pakai karya AI dengan biaya produksi h sepersepuluh. Perusahaan riset KPMG Music & Media memproyeksikan bahwa jika tren pertumbuhan 9 persen per kuartal berlangsung konstan, pada tahun 2026 proporsi musik AI di jasa streaming global bisa menyentuh 52 persen, yang berarti pendapatan royalti untuk artis manusia berpotensi tergerus hingga 34 persen atau setara USD 2,8 miliar per tahun. Tantangan berikutnya adalah mekanisme pelabelan transparan, karena saat ini tidak ada standar metadata universal yang mewajibkan kreator menandai karya yang dibantu AI, sehingga sering kali pengguna baru sadar setelah mengonsumsi lagu berkali-kali. Situasi ini mendorong serikat pekerja musisi Eropa menggalang petisi #HumanOnlyPlaylist yang menuntut hak bagi konsumen untuk memilah konten berbasis proses kreatif, sekaligus menekan platform agal menata ulang model distribusi pendapatan yang dinilai masih memihak label besar. Di tengah turbulensi, beberapa startup berbasis blockchain mempromosikan sistem pencatatan on-chain untuk setiap trek guna menjamin auditabilitas, namun implementasinya masih terkendala skalabilitas dan biaya transaksi yang mahal bagi artis indie.

Proses kerja detektor AI Deezer melibatkan tiga lapisan analisis yang berjalan simultan: spectral pattern recognition untuk mengidentifikasi karakteristik frekuensi yang khas dihasilkan sintesis audio, natural language processing terhadap metadata lirik guna menelusuri tanda-tanda repetitif atau struktur bahasa yang umum dihasilkan model bahasa besar, serta behavioral clustering terhadap pola unggahan akun yang kerap memposting ratusan trek dalam sehari dengan interval waktu tetap. Gorvan menjelaskan bahwa teknologi tersebut dilatih dengan dataset 14 juta lagu yang terdiri atas campuran trek berlabel AI, manusia, serta hibride sehingga tingkat akurasi presisi-nya mencapai 93,8 persen dengan tingkat false positive sebesar 0,7 persen, angka yang masih terus disempurnakan. Keberhasilan implementasi ini menarik perhatian berbagai industri kreatif lain, mulai dari rumah produksi film dokumenter yang mulai mengadopsi pendekatan serupa untuk mendeteksi rekaman suara deepfake, hingga platform podcast yang menegosiasikan lisensi untuk menyaring episode dengan narasi AI. Sisi gelap dari temuan 28 persen ini adalah munculnya pasar gelap jasa penge-mark kalangan musik latar video agar lolos deteksi, di mana sejumlah pengembang mempromosikan alat yang disebut-sebut mampu menambah noise organik, variasi mikro-timing, hingga artefak tape sehingga trek AI terdeteksi sebagai karya manusia. Kasus tersebut mendorong Deezer membangun laboratorium anti-manipulasi yang bekerja sama dengan tim keamanan siber Prancis, serta meluncurkan program bug bounty dengan hadiah hingga EUR 50 ribu bagi peneliti yang menemukan celah bypass. Di sisi regulasi, parlemen Uni Eropa kini mempertimbangkan amandemen pada RUU Digital Services Act yang mewajibkan platform streaming audio besar melakukan pelaporan transparan serupa, termasuk menetapkan denda 6 persen dari pendapatan global jika terbukti menutupi data proporsi konten AI. Sementara di Amerika Serikat, Federal Trade Commission sedang menggodok pedoman baru yang akan mewajibkan label dan distributor menampilkan label keterbukaan AI pada sampul album, mengikuti jejak kebijakan ketertiban untuk iklan politik elektronik.

Dampak psikologis dan budaya dari banjir musik AI juga mulai terasa, di mana survei terhadap 4.200 pelanggan aktif Deezer di lima negara menunjukkan bahwa 41 persen responden merasa kurang terhubung secara emosional dengan artis baru karena keraguan apakah di balik karya tersebut benar-benar ada pengalaman manusia yang autentik, sementara 29 persen lain justru menyatakan tidak masalah selal lagunya enak didengar, menandakan polarisasi preferensi yang makin tajam. Fenomena ini mendorong lahirnya gerakan slow listening, komunitas penggemar yang secara sadar menghindari lagu-lagu berdurasi kurang dari tiga menit berformat loop pop-punk yang umumnya dihasilkan template AI, dan lebih memilih karya full band manusia dengan durasi lebih panjang guna menikmati dinamika narasi musikal. Di kota-kota besar seperti Berlin, Melbourne, hingga Tokyo, acara panggung dengan konsep human-only lineup mulai menjamur, beberapa di antaranya bahkan mewajibkan artis menandatangani pernyataan bahwa setiap nada yang dibawakan diciptakan tanpa intervensi model generatif. Di bidang pendidikan, akademi musik berlomba merevisi kurikulum: Juilliard School memperkenalkan mata kuliah AI literacy bagi komposer, sementara Berklee membangun laboratorium etika teknologi musik yang mengharuskan mahasiswa menganalisis dampak sosial dari karya algoritmik sebelum lulus. Para sejarawan musik menyinggung risiko homogenisasi budaya, karena alat-alat pembuat AI sebagian besar dilatih pada korpus lagu berbahasa Inggris berdurasi 2-3 menit, sehingga bentuk-bentuk tradisional seperti ballad narasi Jawa tembang macapat, ragam kompleks flamenco, maupun irama poliritmik Afrika berpotensi terpinggirkan. Untuk itu UNESCO mengusahkan pendanaan preservasi budaya musik non-Barat dengan memanfaatkan teknologi blockchain agar karya etnis tetap eksis di tengah derasnya arus otomasi, sementara menyeret perusahaan-perusahaan teknologi agar memperluas dataset pelatihan AI dengan karya beragam budaya.

Morfotech, sebagai perusahaan teknologi informasi berbasis di Indonesia yang berfokus pada solusi cloud, AI, dan transformasi digital, menyadari bahwa gelombang otomatisasi kreatif seperti yang kini menghujani Deezer akan segera merambah pasar lokal, baik itu dalam bentuk jingle iklan, musik latar konten kreator, hingga produksi album mini artis indie. Untuk itu, Morfotech menawarkan paket konsultasi implementasi detektor konten AI berbasis mikroservis yang dapat disematkan pada platform streaming maupun aplikasi UGC (user-generated content), lengkap dengan dashboard analitik real-time untuk membantu label, kolektif manajemen hak, bahkan kementerian budaya dalam mengawal transparansi karya nasional. Tim insinyur Morfotech juga menyediakan bengkel praktik bagi musisi lokal yang ingin memanfaatkan AI secara etis sebagai asisten komposisi atau mixing, sehingga produktivitas meningkat tanpa kehilangan identitas kemanusiaan yang menjadi jati diri karya seni. Jika Anda ingin mengetahui lebih lanjut mengenai bagaimana teknologi dapat menjadi katalis pertumbuhan industri kreatif Indonesia tanpa mengorbankan nilai-nilai budaya, segera hubungi tim ahli Morfotech melalui WhatsApp +62 811-2288-8001 atau kunjungi https://morfotech.id untuk menjadwalkan sesi konsultasi gratis. Bersama kita wujudkan ekosistem digital yang adil, transparan, dan berkelanjutan demi mendorong kemandirian ekonomi kreatif Tanah Air.

Sumber:
AI Morfotech - Morfogenesis Teknologi Indonesia AI Team
Monday, September 15, 2025 7:01 AM
Logo Mogi